Sabtu, 22 Maret 2014

SAMI'NA WA ATHO'NA

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Qs. An-Nisaa : 59).

Sabda Rasulullah, “Tinggalkanlah apa yang aku biarkan untuk kalian. Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian disebabkan pertanyaan dan penentangan mereka terhadap para nabi mereka. Karenanya apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah ia dan jika aku memerintahkan kepada kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah ia menurut kemampuan kalian”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sami'na wa Atho'na “kami dengar dan kami taati”. Mendengar dan mentaati setiap apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta'ala, tanpa adanya pertanyaan-pertanyaan “untuk apa?, kenapa?, dan apa akibatnya?”  merupakan suatu cerminan bagi hamba-hambaNya yang beriman. Maka ketika turun ayat perintah sholat jum'at sampai diharamkannya khamar, mereka mendengar dan taat.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu sekalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs.Al-Jumu’ah : 9). Setelah mendengar ayat ini, merekapun tahu dan mengakui bahwa sholat jum’at itu merupakan perintah Allah dan hukumnya adalah wajib, maka mereka segera melaksanakan apa yang perintahkan oleh Allah di dalam ayat itu.

Begitupun ketika turun ayat larangan minum khamar. “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung”.(Qs.Al-Maidah : 90)

Ayat larangan minum khamr, diturunkan secara bertahap, itu dikarenakan minum khamar  bagi orang Arab sudah menjadi adat kebiasaan yang mendarah daging semenjak zaman jahiliyah. Dan mereka pasti sulit apabila harus menjauhkan diri dari tidak meminum-minuman khamar.  Namun ketika turun ayat yang menegaskan bahwa khamar itu adalah haram, mereka langsung meninggalkan meminum-minuan khamar dan membuangnya padahal  masih mempunyai sedikit dari padanya, maka tidak boleh meminumnya, dan jangan menjualnya. (Abu Sa'id) berkata, "Lalu orang-orang sama menuju ke jalan-jalan di Madinah sambil membawa sisa khamr yang ada padanya, lalu mereka menuangkannya". (HR. Muslim juz 3, hal. 1205)

Sami’na wa atho’na. Kami dengar dan kami taati. Pada masa awal dakwah Rasulullah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu direspon umat dengan menggunakan instrumen keimanan. Tidak peduli apakah ia, menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit. Semangat keimanan  mereka melahirkan ruh-ruh ketaatan. Buah keimanan akan memunculkan husnudzon mereka kepada Allah. Yakin bahwa di dalam larangan itu pasti ada kebaikan.

Isra Mi'raj juga merupakan salah satu pelajaran penting bagi orang-orang beriman tentang kaidah Sami'na wa atho'na. Kami dengar dan kami taat. Ketika Rasulullah mengabarkan tentang  perjalanan beliau isra dan mi'raj, orang-orang kafir mendustakan, menertawakan dan menganggap beliau gila. Kecuali orang-orang beriman, mereka mempercayainya. Bahkan Abu Bakr as Shiddiq berkata, "Meskipun Muhammad mengatakan lebih dari itu, akupun percaya."

Begitulah seyogyanya keimanan itu tidak lagi menimbang-nimbang, tidak lagi kita ikuti dengan prasangka-prasangka. Saya dengar dan saya ta’at dan bukan kemudian menantikan penjelasan atau memikirkan dampaknya, baik mudharat (dampak negatif) maupun maslahatnya (dampak positif). Yang jelas Allah mengganjar syurga bagi hamba-hambanya yang mena’atinya. Ini dicantumkan Allah dalam firmannya, Q.S. An-Nisa’: 13 “Itulah batas-batas (Hukum) Allah, Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”

Malaikat saat diperintahkan untuk bersujud pada nabi Adam, tanpa banyak pertanyan dan pemikiran segera bersujud. Malaikat mendengarkan dan mereka taati. Namun iblis laknatullah, pemimpinnya para pembangkang, membantah perintah itu. Dan iblis malah memberikan argumen-argumen, seakan-akan ia lebih tahu dibandingkan Allah, menganggap perintah Allah itu perlu untuk dikaji ulang dan kemudian bisa direvisi. Menganggap Allah bisa saja salah bertindak ataupun memerintahkan. Ia merasa materi pembentuk fisiknya lebih mulia. Karena ketidak taatannya itu akhirnya iblispun  terusir. Bukan saja dari syurga, tapi terusir dari sisi Allah dengan akhir pedih, penuh penderitaan.

Sekarang bagaimanakah sikap kita terhadap ayat-ayat Qur'an, dan hadits-hadits Rasul? Mengimaninya seperti para sahabat dan Malaikat atau justru mencari-cari alasan untuk menolaknya seperti iblis?


Wallahu'alam

POLIGAMI


Teringat akan perkataan seorang perempuan untuk temannnya yang laki-laki, “cinta itu tidak bisa dibagi karena kamu tak akan bisa adil memberi,  dan ketika cinta dibagi, pasti akan ada yang tersakiti”. Rasa khawatir yang menyelimuti hati perempuan tentang poligami ini, membuat banyak perempuan tidak mau bila suami mereka poligami, mereka tidak ingin cinta suaminya terbagi. Seorang perempuan sangat sukarela ketika harus berbagi cerita, berbagi makanan, berbagi pakaian atau berbagi uang, tapi mereka akan sangat tidak rela kalau harus berbagi laki-laki yang dicintainya dengan perempuan lain.

Dalam Islam  mengenal adanya perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan lebih dari satu atau yang sering dikenal dengan poligami. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Poligami memiliki arti: “Sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.“ Kata “bersamaan” didalam penjelasannya bukan menunjukan pada proses upacara pernikahannya, tetapi menunjuk kepada kehidupan pernikahan dimana bersamaan dalam arti bukan terjadi pada selang beda waktu, misalkan setelah ditinggal pasangan lawan jenis meninggal atau cerai kemudian menikah lagi, sedangkan Poligami menurut J.N.D Anderson, 1994:49 adalah “perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita”.

Jadi berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa poligami adalah “Memiliki atau mengawini 2, 3, atau 4 lawan jenis ( perempuan ) dalam waktu yang bersamaan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat An-Nisa : ayat 3, “Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat”.....

Berdasarkan hukumnya, ada yang berpendapat bahwa poligami itu mubah (tidak dianjurkan juga tidak dilarang) jika khawatir tidak dapat berlaku adil,  ini berdasarkan Q.S. An-Nisa : 3 “kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja”. Ayat tersebut dengan tegas menuntut seorang suami yang ingin poligami agar berlaku adil, jika khawatir tidak dapat berlaku adil bila sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja, kalau itupun masih takut tidak bisa adil maka cukup dua orang saja, dan kalau dua orang isteri masih kuatir tidak dapat adil, maka hendaklah menikah dengan seorang isteri. Perlakuan adil di sini dalam memenuhi kebutuhan nafkah, pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa poligami ini hukumnya sunah. Poligami ini disunnahkan bila seorang laki-laki dapat berbuat adil di antara istri-istrinya berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Namun bila kalian khawatir tidak dapat berbuat adil maka nikahilah satu wanita saja” (Q.S. An-Nisa  :3). Dan juga bila ia merasa dirinya aman dari fitnah dengan mereka dan aman dari menyia-nyiakan hak Allah dengan sebab mereka, aman pula dari terlalaikan melakukan ibadah kepada Allah karena mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya istri-istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian maka berhati-hatilah dari mereka“. (QS. At Taghabun: 14)

Masalah poligami ini memang menjadi pembahasan yang panjang, ada yang setuju, banyak juga yang tidak setuju, padahal ini bukanlah hal yang harus disetujui atau tidak disetujui oleh manusia, karena poligami ini hal yang sudah ada ketetapannya dari Allah, tinggal bagaimana manusia bisa atau belum bisa melakukannya. Poligami bukan hal yang bisa dilaksanakan karena keinginan semata, dan bukan hal yang bisa dengan tergesa-gesa melakukannya, ada kebaikan dan keburukan yang mesti kita cermati.

Kebaikan-kebaikan atau hikmah yang bisa di dapat dari poligami, antara lain :
  1. Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya.       Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
  2.  Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya. Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami.
  3. Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka.  
  4.  Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.

Selain hikmah ada keburukan yang bisa terjadi bila poligami ini dilakukan karena mengikuti hawa nafsu belaka atau karena tergesa-gesa dan bersegera melakukan poligami tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga ia menghancurkan kebahagiaan keluarganya dan memutus ikatan tali (pernikahannya) dan menjadi seperti orang yang dikatakan oleh seorang A’rabi (dalam bait syairnya):

Aku menikahi dua wanita karena kebodohanku yang sangat
Dengan apa yang justru mendatangkan sengsara
Tadinya aku berkata, ku kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya
Merasakan kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari diantara dua serigala
Membuat ridla istri yang satu ternyata mengobarkan amarah istri yang lain
Hingga aku tak pernah selamat dari satu diantara dua kemurkaan
Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan
Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu
Malam ini untuk istri yang satu, malam berikutnya untuk istri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam
Maka bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan
yang memenuhi kedua tanganmu hiduplah membujang
namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu.


Bait syairnya yang dikatakan A’rabi ini tidak benar secara mutlak, tetapi barangsiapa yang memberat-beratkan dirinya melakukan poligami tanpa disertai kemampuan memberikan nafkah, pendidikan dan penjagaan yang baik serta memperhatikan adab-adab dalam berpoligami, maka dimungkinkan akan menimpanya apa yang dikisahkan oleh A’rabi itu yaitu berupa kesulitan dan kepayahan
Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
  1.  Tidak bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu1. Tidak bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.
  2. Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.
  3. Tidak mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain. 

Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.

 
Wallahualam.


TERUNGKAP KATA MELALUI MATA


Mata adalah salah satu panca indera manusia yang sangat penting dan tidak akan ada yang mau menukarnya dengan apapun, karena mata adalah jendela untuk melihat dunia dengan berbagai macam keindahannya. Dengan mata, manusia juga dapat melihat kebesaran Allah yang tersebar di alam semesta. Dengan mata, manusia dapat melihat bumi yang penuh dengan warna, sarat dengan pemandangan indah menawan hati, dapat pula melihat wajah orang-orang yang tersayang..

Allah memberi mata sebagai anggota utama wajah agar lebih sedap dipandang, Allah menganugerahi mata agar manusia dapat melihat, belajar dan senantiasa bersyukur, sehingga bisa memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik dan berkualitas di sisi Allah. Allah juga menciptakan mata dengan bentuk yang berbeda-beda namun Subhanallah, mata-mata itu di tempatkan pada posisi dan orang yang tepat sehingga sangat serasi dengan wajah.

Mata adalah salah satu biasan cahaya hati, karena lewat mata bisa merasakan suasana hati si empunya mata. Dari mata turun ke hati sehingga timbul cinta, dan dari mata akan muncul hasrat jiwa. Melalui mata banyak kata yang terungkap dan akan ada banyak kata yang tidak terucap. Matapun untuk melihat kebenaran yang diperlihatkan oleh Allah, tersurat dalam firman Allah dalam Qs. Al-An'am : 104 “Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang, maka barang siapa melihat (kebenaran itu) maka manfaatnya bagi dirinya sendiri, dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu) maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) bukanlah pemeliharamu”.

Mata yang dikaruniai rahmat oleh Allah adalah mata yang menyemburatkan cahaya iman, dimana mata yang bercahaya akan dapat melihat matahari dibalik kabut, dan akan dapat melihat mutiara didalam lumpur. Mata yang penuh cahaya adalah mata yang penuh dengan sinar kebaikan, mata yang terdapat energi penuh kasih sayang, bukan kebencian, dendam dan sakit hati. Mata yang penuh cahaya dapat meradiasikan kebaikan, dan ketika orang lain melihatnya akan menjadi senang dan bahagia. Mata yang bercahaya karena melihat sesuatu yang negatif dengan sikap positif.

Mata yang melihat orang lain dari sisi positif itu disebabkan oleh dorongan hati yang bersih, dan tersucikan dengan sifat ikhlas, sabar, tabah, santun, serta penuh kesederhanaan. Kenapa?, karena orang tersebut melihat orang lain dengan mata hatinya, maka yang ada di dalam matanya adalah kebaikan dan kebaikan. Orang yang seperti ini akan tetap tenang dan bisa tetap tersenyum walau dihina atau dicaci maki oleh orang lain, bahkan jika diberi racunpun dia jadikan tawar sehingga akan aman.

Pandangan yang paling tepat adalah pandangan dengan mata hati, karena ia mampu melihat yang tersirat di balik yang tersurat, dan mampu membedakan antara yang hakiki dengan ilusi. Seseorang akan memiliki kesadaran apabila terbuka mata hatinya, sehingga akan selalu ingat untuk bersyukur kepada Allah. “Sesungguhnya (mereka yang tidak memahaminya) bukanlah karena matanya yang buta tetapi yang buta itu ialah hati yang tersembunyi di dada.” (Q.S. Al-Haj : 46).


Wallahualam..

Jumat, 21 Maret 2014

YUK KENALAN SAMA ALLAH.....:)

Kata Utbah Al-Ghulam Rahimullah “Barangsiapa yang mengenal Allah niscaya dia akan mencintai-Nya, dan barangsiapa yang mencintai-Nya niscaya dia akan menaatinya.”  Manusia mungkin mengenal Allah hanya sebatas bahwa Allah itu adalah yang menciptakan dirinya, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga alam semesta ini, Allah juga menciptakan malaikat yang ditugaskan untuk mencatat amal manusia, bertanya di dalam kubur, menurunkan hujan dan lain-lain”. Teman....kebesaran Allah tidak hanya sebatas itu, masih banyak lagi dan berlembar-lembar kertaspun tidak akan cukup menuliskan kebesaran Allah.

Ada pepatah mengatakan “Tak kenal maka tak sayang”, tak sayang tak akan ada usaha untuk lebih dekat, tanda tak kenal Allah, terlihat dari  banyaknya melanggar perintah dan laranganNya. Maka dari itu yuk kita kenalan sama Allah agar kita bisa lebih mengenalNya kemudian bisa mencintaiNya,  Rasulullah saw. Bersabda “Akan merasakan manisnya keimanan, orang yang meridhai Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad saw, sebagai utusan Allah.”

Bagaimana kita mengenal Allah?, Seyogyanya ma'rifatullah (mengenal Allah) tidak dimaknai secara harfiah saja, namun mesti dimaknai  juga dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah. Dan jalan apa yang harus kita tempuh agar kita bisa mengenal Allah?.
  1. Mengenali Asma dan sifatnya Allah.  “Dan Allah memiliki nama-nama yang  baik.” (Qs. Al A’raf: 186). Jalan mengenal Allah  yang pertama  adalah dengan memahami Asma'ul husna. Yaitu Allah sebagai Rabb, sebagai penguasa dan sebagai Ilah. Allah sebagai pencipta (Al-Khaliq), pemberi rizki (Ar Rizq), dan seterusnya.
    Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah : “Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110
    Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah : “ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180
  2. Memperhatikan tanda-tanda kekuasaanNya.
    Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

    “....Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ra'd: 4).

       
    “.....Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (an-Nahl: 11).

    Allah juga berfirman, ”Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur.” (QS. Asy-Syura: 33).

    Alam semesta dan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya sebenarnya sudah menunjukan keberadaan-Nya, namun berdasarkan ayat-ayat di atas, keberadaan Allah hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang mau memikirkannya.

Akal merupakan sarana untuk mengenal Allah, karena fungsi akal untuk berfikir dan merenung. Berfikir, memikirkan atau merenungi ciptaan Allah dan fenomenanya adalah hal yang harus dilakukan manusia untuk dapat lebih merasakan keberadaan Allah, agar manusia juga dapat lebih mengenalNya dan mencintai-Nya.  Dengan merenungi ayat-ayat Allah yang di dalamnya terdapat pengetahuan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah, kita akan mendapakan hakekat kebenaran yang tidak diragukan lagi.

"Sesunggunya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan) bagi orang-orang yang berpikir (Ulil Albab), yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaringnya. Dan senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi, mereka berkata: 'Ya, Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka selamatkanlah kami dari siksa api neraka'."
(Qs. Ali Imran(3): 190-191)

Wallahu a’lam.